Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung
Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21
Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu
Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan
anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan
dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto
mempunyai anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di
Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah
Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian
melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu,
Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920,
pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah
Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada
25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai
Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka.
Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29
Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya
berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa
yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI
pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan
Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda
dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke
Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang
disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia
yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi
dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya
mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955
yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan
penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto
sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu,
21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso,
Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman
Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”
2.Soeharto (1966-1998)
Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk,
Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani
yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya
bernama Sukirah.
Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah.
Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes,
lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul.
Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan
di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri
tani.
Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara,
Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5
Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang
anak pegawai Mangkunegaran.
Perkimpoian Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26
Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun.
Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit
Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra
dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam
karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat
sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat
Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota
Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi
Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima
Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto
ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966,
Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno.
Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran
Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang
Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden,
dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih
dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21
Mei 1998.
residen RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari
2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak
Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama
24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP),
Jakarta.
Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran
Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim
Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat
pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi
organ.
Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto
diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng,
Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan
keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat
ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga
pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto
memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).
Seementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil
Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet
terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3
menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden
menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua
Haji Muhammad Soeharto.
3.Habibie (1998-1999)
Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie lahir di
Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat
dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini
Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12
Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal.
Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare,
Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie
sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus
kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena
serangan jantung. Tak lama setelah bapaknya meninggal, Habibie pindah ke
Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau
mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta.
Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.
Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk Universitas Indonesia
di Bandung (Sekarang ITB). Beliau mendapat gelar Diploma dari Technische
Hochschule, Jerman tahun 1960 yang kemudian mendapatkan gekar Doktor dari
tempat yang sama tahun 1965. Habibie menikah tahun 1962, dan dikaruniai dua
orang anak. Tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut
Teknologi Bandung.
Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum
namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan
bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman,
beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10
tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman
dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang
terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk
kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT,
memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil
Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI
menggantikan Soeharto. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie
berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser
akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya
ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula
hijrah bermukim ke Jerman.
4. Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di
Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur
adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H.
Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny.
Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri
Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi
Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur
merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir,
ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim
pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu,
yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya
telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi
Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak
bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan
dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di
rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus
Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan
tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama
ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru.
Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya
mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal.
Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin
memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan
umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai
majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang
dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi,
akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak
luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain
bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta
untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut
juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan
apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada
tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo.
Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa
berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai
kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya
telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh.
Sakur. Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
Pengalaman Pendidikan
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim
Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca
al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat
sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur
masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem
Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan
Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu
menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama
kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai
tertarik dan mencintai musik klasik.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk
belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun
dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum
sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris.
Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah
ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah
dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh
mengaji pada K.H. Ma’shum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam
hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah
lainnya.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo
Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang
humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus
Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di
bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke
kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini,
Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain
terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya
dalam berhumor dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah
kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara
imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan
santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman
dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional,
kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut
di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan
terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah
kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya
mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia
menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur
berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan
ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai
di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas
al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di
sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah
ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering
mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan
toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun
1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna
mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat
dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur
tidak membutuhkan gelar tersebut.
Perjalanan Karir
Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan
memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas
Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi
sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi
penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat
tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian
banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai
bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya,
kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri.
Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu
di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur
mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum
diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri.
Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM.
Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren
Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib
syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius
mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas
agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan
dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman.
Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh
agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi
ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri
dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa
al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua
umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan
pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di
Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus
Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an
Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang
merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut
memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid
5. Megawati (2001-2004)
Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.
Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot
Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada tara,
sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak berkepanjangan,
tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama Taufik Kiemas, asal Ogan
Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya bertambah bahagia, dengan
dikaruniai seorang putri Puan Maharani. Kehidupan masa kecil Megawati
dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan
suka main bola bersama saudaranya Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati
mempunyai hobi menari dan sering ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang
berkunjung ke Istana.
Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai
pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta. Sementara, ia
pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas Pertanian, Universitas
Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(1970-1972). Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mbak Mega —
panggilan akrab para pendukungnya — tidak terbilang piawai dalam dunia politik.
Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya.
Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru
pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya
sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk
mendongkrak suara.
Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari
kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik
keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI,
walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI
naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula
Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa.
Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang
sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi
politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik
di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya, yang silent operation,
itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang
Mega dalam dunia politik. Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP
PDI. Hal ini sangat mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres
PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah
mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan
menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul
dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh
pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega
sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam
perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai
Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan
Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi
Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak
mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI
yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang
sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah
pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara
paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal
27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari
pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin
memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan politik yang amat telanjang
terhadap Mega itu, menundang empati dan simpati dari masyarakat luas.
Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan
PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi,
pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Akibatnya, PDI
pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI
Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng
gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih
lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi
paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata
pada SU-MPR 1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada
waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini.
Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara
aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH
Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah
habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam
pemilihan presiden langsung tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali
menjadi presiden setelah kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya
menjadi Presiden RI ke-6.
6. Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden RI ke-6. Berbeda dengan presiden
sebelumnya, beliau merupakan presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam proses Pemilu Presiden putaran II 20 September 2004. Lulusan
terbaik AKABRI (1973) yang akrab disapa SBY ini lahir di Pacitan, Jawa Timur 9
September 1949. Istrinya bernama Kristiani Herawati, merupakan putri ketiga
almarhum Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo.
Pensiunan jenderal berbintang empat ini adalah anak tunggal dari pasangan
R. Soekotjo dan Sitti Habibah. Darah prajurit menurun dari ayahnya yang pensiun
sebagai Letnan Satu. Sementara ibunya, Sitti Habibah, putri salah seorang
pendiri Ponpes Tremas. Beliau dikaruniai dua orang putra yakni Agus Harimurti
Yudhoyono (mengikuti dan menyamai jejak dan prestasi SBY, lulus dari Akmil
tahun 2000 dengan meraih penghargaan Bintang Adhi Makayasa) dan Edhie Baskoro
Yudhoyono (lulusan terbaik SMA Taruna Nusantara, Magelang yang kemudian
menekuni ilmu ekonomi).
Pendidikan SR adalah pijakan masa depan paling menentukan dalam diri SBY.
Ketika duduk di bangku kelas lima, beliau untuk pertamakali kenal dan akrab
dengan nama Akademi Militer Nasional (AMN), Magelang, Jawa Tengah. Di kemudian
hari AMN berubah nama menjadi Akabri. SBY masuk SMP Negeri Pacitan, terletak di
selatan alun-alun. Ini adalah sekolah idola bagi anak-anak Kota Pacitan.
Mewarisi sikap ayahnya yang berdisiplin keras, SBY berjuang untuk mewujudkan
cita-cita masa kecilnya menjadi tentara dengan masuk Akademi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) setelah lulus SMA akhir tahun 1968.
Namun, lantaran terlambat mendaftar, SBY tidak langsung masuk Akabri. Maka SBY
pun sempat menjadi mahasiswa Teknik Mesin Institut 10 November Surabaya (ITS).
Namun kemudian, SBY justru memilih masuk Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan
Pertama (PGSLP) di Malang, Jawa Timur. Sewaktu belajar di PGSLP Malang itu,
beliau mempersiapkan diri untuk masuk Akabri. Tahun 1970, akhirnya masuk Akabri
di Magelang, Jawa Tengah, setelah lulus ujian penerimaan akhir di Bandung. SBY
satu angkatan dengan Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Prabowo
Subianto. Semasa pendidikan, SBY yang mendapat julukan Jerapah, sangat
menonjol. Terbukti, belaiu meraih predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan
menerima penghargaan lencana Adhi Makasaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar